Kehutanan Indonesia Defisit Kenusantaraan
Segala warisan dari nenek moyangmu raihlah kembali dengan usahamu jika engkau ingin benar-benar memilikinya (Goethe).
Kabinet Merah Putih mengembalikan hutan dikelola oleh kementerian tersendiri, yaitu Kementerian Kehutanan. Sebelumnya, otoritas pengelolaan hutan ini bersatu dengan lingkungan hidup (KLHK). Perubahan nomenklatur, tetapi mempunyai mandat kebangsaan yang sama, yaitu menjaga hutan Indonesia lestari.
Membaca ulang sejarah kehutanan Indonesia
Indonesia mempunyai historis kehutanan yang spektakuler dalam kemampuannya mencipta ulang ekosistem hutan alam. Nenek moyang Nusantara telah meletakkan pilar penting dalam merestorasi ekosistem hutan. Hal ini dilakukan melalui rangkaian perladangan berputar dengan lintasan akhir membentuk sistem perhutanan agroforestri.
Meskipun ada tahapan tebas dan bakar, perhutanan agroforestri dalam lintasan akhirnya itu mempunyai kekayaan jenis yang sungguh menakjubkan. Strukturnya sangat kaya penyusun dari berbagai jenis tumbuhan sehingga terbangun ekosistem hutan buatan dengan arsitektur vegetasi yang berlapis-lapis.
Perhutanan agroforestri merupakan hasil racikan agung dengan pertimbangan sangat matang membangun ramuan struktural dan fungsional yang komplet.
Cerminan warisan leluhur yang menjadi kepustakaan kehutanan Nusantara dapat dilihat pada agroforestri khas Indonesia, seperti repong damar di Lampung, agroforestri karet di Jambi, agroforestri tembawang di Kalimatan Barat, agroforestri pelak di Jambi, agroforestri durian di Kalimantan Barat, agroforestri palak di Sumatera Barat, dan agroforestri talun di Jawa Barat.
Ilustrasi miniatur perhutanan agroforestri dalam buku agroforestri khas Indonesia (de Foresta dkk, 2000) menunjukkan bahwa pada agroforestri repong damar di Krui, Lampung, jenis pohonnya mencapai 39 jenis dengan 245 pohon per hektar.
Struktur tegakan repong damar tersusun atas kanopi utama yang disusun oleh damar dan pohon buah yang tinggi (durian, duku, manggis, nangka, mangga, jambu-jambuan), serta subkanopi yang tersusun atas pohon buah, palem, dan tanaman penghasil rempah dan kayu dengan tutupan kanopi utama 88-130 persen (hutan alam hanya mencapai 60 persen).
Komponen vegetasi repong damar juga terdiri atas 15-50 persen pohon dari hutan alam yang dibiarkan tumbuh liar. Distribusi lapisan bawah repong damar mencakup 12 persen (hutan primer 13 persen).
Paradigma ”scientific forestry” warisan kolonial
Meski demikian, kesejarahan kehutanan Indonesia dalam berbagai tinjauan selalu dalam lintasan yang tidak utuh. Holistisisme sebagai tinjauan filosofi yang memberikan cara pandang dengan berprinsip menyeluruh banyak ditinggalkan.
Periodisasi kesejarahan kehutanan Nusantara diperlukan untuk mempertajam tinjauannya, tetapi menegasikan rangkaian utuh, menjadikan tafsirnya bias dan tidak valid. Seperti halnya tinjauan sejarah kehutanan Indonesia sering dipotong pada periode pascakemerdekaan. Sementara itu, yang memorakporandakan sistem kehutanan Nusantara ialah periode kehutanan kolonial.
Tikungan tajam membelokkan kehutanan Nusantara periode kolonial dengan paradigma scientific forestry yang secara radikal mengubah konfigurasi ekosistem hutan. Pilar-pilar kehutanan Nusantara dihanguskan melalui paradigma tersebut.
Limpahan arus sisa-sisa paradigma kolonial itu masih berdampak pada tata kelola kehutanan Indonesia saat ini. Ini bisa dilihat dari arsitektur hutan yang dibangun kembali dengan berbagai skema yang basisnya monokultur dan industri besar. Sementara itu, hutan alam dalam berbagai catatan analisis menunjukkan kecenderungan tidak terpulihkan.
Era kolonial telah membangun kesadaran semu terkait ekosistem hutan. Ekosistem hutan asli Nusantara didegradasi total melalui gelombang monokulturisasi yang dahsyat. Hutan di Jawa telah disimplifikasi menjadi hutan jati yang telah menghilangkan kompleksitas ekosistem hutan aslinya.
Jawa dalam tinjauan sejarah di buku The History of Java (Raffles), tidak hanya dikenal kelimpahan vegetasinya, tetapi juga keragamannya yang spektakuler.
Jawa sama halnya dengan Kepulauan Malaya umumnya berlimpah dengan buah-buahan asli. Konfigurasi hutan Jawa prakolonial menunjukkan adanya ekosistem khas Nusantara. Hal ini seperti konfigurasi akhir dari perladangan berputar dengan bentuk akhirnya mirip hutan alam.
Memulihkan spirit kenusantaraan
Realitas ekosistem hutan rimba dalam paradigma scientific forestry hanya sebatas ilusi. Dalam perspektif teori hiperealitas, hutan yang dibangun dari skema scientific forestry ini di luar realitas sebenarnya.
Meskipun dibangun di kawasan hutan, hanya seperti hologram dalam dunia fantasi atau pada hakekatnya pseudo forest. Paradigma scientific forestry telah menghancurkan pola berpikir ekosistem hutan.
Atas dasar tinjauan kesejarahan kehutanan Nusantara itu, sudah waktunya kehutanan Indonesia menenun kebinekaan perhutanan agroforestri dari Sabang sampai Merauke. Merawat warisan historis leluhur Nusantara atas mahataman agroforestri otentik Nusantara.
Kementerian Kehutanan dan lembaga pendidikan tinggi dengan program studi kehutanan serta sekolah kehutanan di Indonesia sudah mendesak waktunya membangun kesadaran bersama untuk mengagungkan kembali agroforestri otentik Nusantara sebagai pilar paradigma kehutanan yang berkenusantaraan.
Refleksi akhir tahun 2024 menerbitkan harapan kehutanan Indonesia pada masa depan yang berjaya kembali, seperti gemilangnya spirit Sriwijaya dan Majapahit dalam mengepakkan kenusantaraan.
Priyono Suryanto, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM; Ketua Umum Masyarakat Agroforestri Indonesia
sumber: Kompas 03 Jan 2025
Nb. Penulis merupakan alumni DH 2 (1997-1999)
Leave a Comment