Rejeki dan Jabatan
Dalam kehidupan, rejeki seseorang tak selalu berkorelasi dengan jabatan. Apalagi soal kebahagiaan, ia sama sekali tak berhubungan dengan tinggi rendah jabatan seseorang.
Rejeki seseorang benar-benar rahasia Allah SWT. Hak Allah sepenuhnya untuk memberikan rejeki pada makhluknya, termasuk didalamnya untuk melebihkan atau mengurangkannya. Itu tadi rejeki dalam konteks materi, belum lagi rejeki dalam arti yang hakiki, semua pemberian dan nikmat dari Allah SWT yang diberikan pada seseorang.
Dalam perjalanan kehidupan, banyak orang yang terjebak dalam perspektif bahwa harta, kedudukan dan jabatan adalah sumber kebahagiaan. Mereka lupa, bahwa ketiganya hanyalah sarana saja, bukan penentu utama sebuah kebahagiaan bisa tercipta. Mereka juga lupa bahwa untuk bahagia, seseorang tak mutlak harus memiliki banyak harta, atau tingginya kedudukan
Dalam keseharian kita ditengah masyarakat, kita sering menjumpai adanya fenomena orang-orang yang tidak pandai bersyukur. Mereka seakan melihat rejeki itu sama dengan gaji yang mereka terima perbulannya. Padahal, dalam kenyataannya, jumlah gaji yang nominalnya sama, yang diterima sejumlah orang belum tentu dirasakan sama. Hal ini bukan hanya dikarenakan tiap-tiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda tapi lebih tidak mampunya ia memandang hakikat rejeki yang ia terima. Secara umum ada tiga sikap yang bisa kita lihat.
Pertama, ada orang yang selalu merasa kurang dengan penghasilan yang ada. Berapapun jumlahnya ia selalu merasa gajinya lebih kecil dari yang ia harapkan. Ia merasa seolah tidak pernah cukup. Jangankan untuk mensyukuri apa yang ia terima, terkadanh malah mengucap hamdallah saja ia enggan. Yang ada dibenaknya, adalah logika matematika saja, bagaimana ia terus menghitung-hitung kebutuhan diri dan keluarganya dan bagaimana ia kemudian akan mencari tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangannya. Ia lupa siapa yang mencukupkan rizki bagi dia dan keluarganya.
Kedua, biasa-biasa saja. Jenis orang ini tidak banyak berekspresi. Ia merasa tak perlu mengeluh, pun sebaliknya tak merasa harus bersyukur. Sikapnya biasa-biasa saja, ia sebenarnya merasa butuh, namun tak ada kesanggupan dirinya untuk berpikir lebih serius. Ia butuh, namun tak mencoba apapun. Sebaliknya, saat yang sama, ia juga tak pandai bersyukur, karena dalam benaknya barangkali hanya ada hubungan kausalitas saja antara gaji dan rejeki dia. Dalam pemikirannya, bila gaji yang ia dapat cuma segitu, ya berarti mungkin segitu pula rejekinya.
Ketiga, seseorang yang selalu optimis. Memandang berapapun gajinya adalah rejeki terbaik dari Allah. Ia dengan cara pandang ini, terus berusaha bekerja lebih baik dan senantiasa optimis bahwa rejeki Allah teramat luas, bukan hanya sebatas apa yang ia terima sebagai gajinya. Ia juga sadar, ketika kebutuhannya tak cukup secara materi, ia bekerja lebih keras, termasuk juga berusaha mencari penghasilan tambahan yang halal dan baik serta tak putus do'anya ia panjatkan pada Allah pemilik alam ini, Yang Maha Kuasa menurunkan dan membagi rejeki pada setiap makhluknya.
Saudaraku...
Ditengah-tengah banyaknya orang yang mengejar-ngejar harta demi memenuhi ambisi hidupnya, sadarilah bahwa kita bukan bagian dari mereka. Apalagi mereka yang melupakan akhirat hanya untuk urusan dunia.
Saudaraku...
Sadarilah bahwa orang kaya hakikatnya adalah orang yang selalu merasa cukup dalam hidupnya, sehingga dia terus berbagi. Sebaliknya, orang miskin justru orang yang selalu merasa kurang, hingga dia terus meminta-minta.
Saudaraku..
Selagi masih ada waktu, mari fokuskan sisa hidup kita untuk mengejar bekal di akhirat yang pasti kita tuju. Jangan pernah tertipu indahnya harta, jabatan dan kemewahan yang semu, karena semuanya fana dan sementara adanya.
Tanjung Barat, Jelang Fajar 1 Mei 2016
Oleh Nana Sudiana, Direktur Program IZI
* Alumnus DH angkatan 1
Sumber: rmol Selasa, 03 Mei 2016
Rejeki seseorang benar-benar rahasia Allah SWT. Hak Allah sepenuhnya untuk memberikan rejeki pada makhluknya, termasuk didalamnya untuk melebihkan atau mengurangkannya. Itu tadi rejeki dalam konteks materi, belum lagi rejeki dalam arti yang hakiki, semua pemberian dan nikmat dari Allah SWT yang diberikan pada seseorang.
Dalam perjalanan kehidupan, banyak orang yang terjebak dalam perspektif bahwa harta, kedudukan dan jabatan adalah sumber kebahagiaan. Mereka lupa, bahwa ketiganya hanyalah sarana saja, bukan penentu utama sebuah kebahagiaan bisa tercipta. Mereka juga lupa bahwa untuk bahagia, seseorang tak mutlak harus memiliki banyak harta, atau tingginya kedudukan
Dalam keseharian kita ditengah masyarakat, kita sering menjumpai adanya fenomena orang-orang yang tidak pandai bersyukur. Mereka seakan melihat rejeki itu sama dengan gaji yang mereka terima perbulannya. Padahal, dalam kenyataannya, jumlah gaji yang nominalnya sama, yang diterima sejumlah orang belum tentu dirasakan sama. Hal ini bukan hanya dikarenakan tiap-tiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda tapi lebih tidak mampunya ia memandang hakikat rejeki yang ia terima. Secara umum ada tiga sikap yang bisa kita lihat.
Pertama, ada orang yang selalu merasa kurang dengan penghasilan yang ada. Berapapun jumlahnya ia selalu merasa gajinya lebih kecil dari yang ia harapkan. Ia merasa seolah tidak pernah cukup. Jangankan untuk mensyukuri apa yang ia terima, terkadanh malah mengucap hamdallah saja ia enggan. Yang ada dibenaknya, adalah logika matematika saja, bagaimana ia terus menghitung-hitung kebutuhan diri dan keluarganya dan bagaimana ia kemudian akan mencari tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangannya. Ia lupa siapa yang mencukupkan rizki bagi dia dan keluarganya.
Kedua, biasa-biasa saja. Jenis orang ini tidak banyak berekspresi. Ia merasa tak perlu mengeluh, pun sebaliknya tak merasa harus bersyukur. Sikapnya biasa-biasa saja, ia sebenarnya merasa butuh, namun tak ada kesanggupan dirinya untuk berpikir lebih serius. Ia butuh, namun tak mencoba apapun. Sebaliknya, saat yang sama, ia juga tak pandai bersyukur, karena dalam benaknya barangkali hanya ada hubungan kausalitas saja antara gaji dan rejeki dia. Dalam pemikirannya, bila gaji yang ia dapat cuma segitu, ya berarti mungkin segitu pula rejekinya.
Ketiga, seseorang yang selalu optimis. Memandang berapapun gajinya adalah rejeki terbaik dari Allah. Ia dengan cara pandang ini, terus berusaha bekerja lebih baik dan senantiasa optimis bahwa rejeki Allah teramat luas, bukan hanya sebatas apa yang ia terima sebagai gajinya. Ia juga sadar, ketika kebutuhannya tak cukup secara materi, ia bekerja lebih keras, termasuk juga berusaha mencari penghasilan tambahan yang halal dan baik serta tak putus do'anya ia panjatkan pada Allah pemilik alam ini, Yang Maha Kuasa menurunkan dan membagi rejeki pada setiap makhluknya.
Saudaraku...
Ditengah-tengah banyaknya orang yang mengejar-ngejar harta demi memenuhi ambisi hidupnya, sadarilah bahwa kita bukan bagian dari mereka. Apalagi mereka yang melupakan akhirat hanya untuk urusan dunia.
Saudaraku...
Sadarilah bahwa orang kaya hakikatnya adalah orang yang selalu merasa cukup dalam hidupnya, sehingga dia terus berbagi. Sebaliknya, orang miskin justru orang yang selalu merasa kurang, hingga dia terus meminta-minta.
Saudaraku..
Selagi masih ada waktu, mari fokuskan sisa hidup kita untuk mengejar bekal di akhirat yang pasti kita tuju. Jangan pernah tertipu indahnya harta, jabatan dan kemewahan yang semu, karena semuanya fana dan sementara adanya.
Tanjung Barat, Jelang Fajar 1 Mei 2016
Oleh Nana Sudiana, Direktur Program IZI
* Alumnus DH angkatan 1
Sumber: rmol Selasa, 03 Mei 2016
Leave a Comment