Mengutip Kitab Non Muslim (Buletin 32)
Mengutip kitab suci agama lain, -juga mengutip kisah-kisah Bani Israel yang berasal dari kitab-kitab mereka- mesti diperinci permasalahan dan konteksnya. Kita lihat ada beberapa sebab, motivasi, dan konteks seorang muslim mengutip kitab suci agama lain.
1.Membenarkan, mengakui keutamaan, dan mengambil hukum
Jika ini yang melatarbekanginya, seseorang mengutip kitab suci agama lain dalam keadaan mengakui kebenaran dan keutamaannya, mengambil hukum darinya, apalagi sampai melandasi keimanan diatasnya, padahal dia tahu bahwa kitab tersebut tidaklah haq dari Allah Ta’ala, melainkan tulisan tangan-tangan kotor manusia lalu diklaim sebagai firman Allah oleh pengikutnya. Maka ini adalah perbuatan kufur.
Allah Ta’ala berfirman:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah : 79)
2. Mengoreksi dan mengkritik
Mengutip kitab suci agama lain untuk menunjukkan kekeliruan, kontradiksi, dan kepalsuannya. Inilah yang dilakukan para kristolog dan sebagian ulama. Ini tidak mengapa, bahkan menjadi hal yang dituntut jika memang itu tujuannya. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah termasuk yang piawai dalam hal ini. Beliau menyusun kitab Jawab Ash Shahih Liman Badala Din Al Masih, dalam rangka membantah agama Nasrani. Beliau menunjukkan kekeliruan aqidah kaum Nasrani melalui teks-teks agama mereka sendiri.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi sering mengutip ucapan Yesus Kristus: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar, dan berikan Hak Tuhan kepada Tuhan,” dalam beberapa kitabnya. Hal ini beliau lakukan ketika hendak membahas sikap agama Nasrani terhadap urusan politik dan negara, yaitu sekuler. Memisahkan antara Hak Kaisar (urusan negara) dengan Hak Tuhan (urusan agama).
3.Menguatkan Ajaran Islam
Hal ini juga dilakukan para ulama Islam. Ada beberapa urusan yang Islam membahasnya di dalam Al Quran dan As Sunnah, lalu ternyata itu juga tertera dalam Bible misalnya, maka tidak sedikit ulama Islam yang melakukannya.
Contohnya adalah Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah ketika membahas pemakluman perang (jihad) dalam kitab Fiqhus Sunnah (silahkan bukan tentang Bab Jihad). Beliau mengutip dari Bible untuk menunjukkan bahwa agama Nasrani pun mengakui peperangan.
Sebelum Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sudah banyak para ulama yang kadang mengutip ayat dari kitab suci agama lain, sebagai penguat dari apa yang sudah ada dalam Islam. Telah masyhur bahwa para mufassir pun sering memuat dalam tafsir mereka kisah-kisah Israiliyat yang merupakan kisah yang berasal dari keyakinan dan kitab suci kaum Bani Israil, untuk menguatkan topik yang mereka bahas.
4. Untuk Membandingkan
Mengutip untuk membandingkan Al Quran lalu membuktikan bahwa Al Quran adalah Al Haq. Seperti ucapan Yesus: “Jika ditampar pipi kanan, maka berilah pipi kiri.” Kita membandingkannya dengan ayat Al Quran:
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS. Asy Syura: 40)
Islam mengajarkan kewibawaan dan harga diri kepada manusia, maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa”. Namun, Islam juga memberikan jalan yang lebih dan mulia, dengan firmanNya: “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”. Dengan demikian akan lahir sikap saling menghormati secara hakiki yang didasari oleh penjagaan terhadap martabat manusia.
Sedangkan ucapan: “Jika ditampar pipi kanan, maka berilah pipi kiri.” Tidaklah menunjukkan bahwa dia lemah lembut dan sabar, namun menunjukkan ketidakberdayaan. Perdamaian yang lahir adalah semu, sebab didasari kezaliman satu pihak terhadap pihak lain.
Nah, mengutip dengan tujuan seperti ini juga tidak masalah.
5. Sekedar Diambil Hikmahnya
Mengutip kisah atau ayat dari kitab suci agama lain -termasuk kisah-kisah kitab Bani Israil (kisah Israiliyat)- adalah boleh, selama bukan untuk menetapkan hukum dan aqidah, tetapi sekedar untuk tahu bagaimana versi sejarah mereka, kehidupan mereka, akhlak yang baik, atau mengambil ibrah saja, selama tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Islam.
Dasarnya adalah dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari No. 3461, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 29175).Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Bab Maa Dzukira ‘An Bani Israil – Apa-apa yang Diceritakan Dari Bani Israil.
Berikut ini pandangan para ulama Islam tentang kebolehan mengutip dari kitabnya kaum Ahli Kitab:
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah berkata:
Yaitu tidaklah sempit bagimu untuk menceritakan dari mereka karena telah berlalu larangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengambil kisah dari mereka dan hati-hati terhadap kitab-kitab mereka, namun kemudian hal itu diberikan kelapangan untuk menceritakan dari mereka. Larangan itu terjadi sebelum mantapnya hukum-hukum Islam dan kaidah-kaidah agama, dan khawatir adanya fitnah. Lalu ketika hal yang demikian telah berlalu, maka diberikanlah izin untuk mendengarkan kabar-kabar yang pernah terjadi pada zaman mereka dahulu yang memiliki i’tibar (pelajaran). Dikatakan juga makna sabdanya “tidak apa-apa” adalah tidak menyempitkan dadamu jika kamu mendengarkannya dari mereka berupa keajaiban-keajaiban mereka, sebab hal itu memang banyak terjadi pada mereka. (Fathul Bari, 6/498. Darul Ma’rifah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
Nabi bersabda dalam hadits Abdullah bin Amr: “Ceritakanlah dari Bani Israil, tidak apa-apa”. Bani Israil, baik Yahudi dan Nasrani, jika mereka mengatakan sebuah perkataan maka kutiplah dari mereka, tidak apa-apa atasmu, dengan syarat tidak diketahui bahwa itu bertentangan dengan syariat, karena Bani Israil memiliki kebohongan berupa merubah kata-kata dari tempatnya dan mereka berdusta. Jika mereka mengabarkan kepadamu yang baik-baik maka tidak apa-apa menceritakannya dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika bertentangan, maka tidak boleh mengutipnya, kecuali jika mengutipnya untuk menjelaskan kebatilannya, maka itu tidak apa-apa. (Syaikh Utsaimin, Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 1583. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:
Maknanya adalah satu, yaitu boleh saja bagi seorang muslim menukil perkataan mereka (ahli kitab) dan kabar tentang mereka yang terdapat dalam kitab-kitab mereka tanpa terikat dengan upaya pencarian kebenaran sanadnya, bahkan menceritakan berita-berita mereka menjadikannya sebagaimana halnya sebagai ibrah dan mau’izhah, kecuali jika diketahui bahwa berita itu adalah dusta. (Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, Fatwa No. 9067)
Dan masih banyak perkataan ulama lainnya yang serupa dengan ini.
Maka, tidak mengapa mengutip dari mereka berupa kisah-kisah dari sejarah mereka (Ahli Kitab), baik yang tertera dalam buku sejarah atau kitab suci mereka, selama ditujukan untuk mengambil pelajaran saja. Bukan untuk hukum dan aqidah.
Penulis: Farid Nu’man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com
(Beberapa bagian diedit oleh Aga, pengurus Daaru Hiraa, untuk menghemat tempat)
Nb. versi pdf buletin DH bisa didownload di bawah ini:
1.Membenarkan, mengakui keutamaan, dan mengambil hukum
Jika ini yang melatarbekanginya, seseorang mengutip kitab suci agama lain dalam keadaan mengakui kebenaran dan keutamaannya, mengambil hukum darinya, apalagi sampai melandasi keimanan diatasnya, padahal dia tahu bahwa kitab tersebut tidaklah haq dari Allah Ta’ala, melainkan tulisan tangan-tangan kotor manusia lalu diklaim sebagai firman Allah oleh pengikutnya. Maka ini adalah perbuatan kufur.
Allah Ta’ala berfirman:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah : 79)
2. Mengoreksi dan mengkritik
Mengutip kitab suci agama lain untuk menunjukkan kekeliruan, kontradiksi, dan kepalsuannya. Inilah yang dilakukan para kristolog dan sebagian ulama. Ini tidak mengapa, bahkan menjadi hal yang dituntut jika memang itu tujuannya. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah termasuk yang piawai dalam hal ini. Beliau menyusun kitab Jawab Ash Shahih Liman Badala Din Al Masih, dalam rangka membantah agama Nasrani. Beliau menunjukkan kekeliruan aqidah kaum Nasrani melalui teks-teks agama mereka sendiri.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi sering mengutip ucapan Yesus Kristus: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar, dan berikan Hak Tuhan kepada Tuhan,” dalam beberapa kitabnya. Hal ini beliau lakukan ketika hendak membahas sikap agama Nasrani terhadap urusan politik dan negara, yaitu sekuler. Memisahkan antara Hak Kaisar (urusan negara) dengan Hak Tuhan (urusan agama).
3.Menguatkan Ajaran Islam
Hal ini juga dilakukan para ulama Islam. Ada beberapa urusan yang Islam membahasnya di dalam Al Quran dan As Sunnah, lalu ternyata itu juga tertera dalam Bible misalnya, maka tidak sedikit ulama Islam yang melakukannya.
Contohnya adalah Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah ketika membahas pemakluman perang (jihad) dalam kitab Fiqhus Sunnah (silahkan bukan tentang Bab Jihad). Beliau mengutip dari Bible untuk menunjukkan bahwa agama Nasrani pun mengakui peperangan.
Sebelum Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sudah banyak para ulama yang kadang mengutip ayat dari kitab suci agama lain, sebagai penguat dari apa yang sudah ada dalam Islam. Telah masyhur bahwa para mufassir pun sering memuat dalam tafsir mereka kisah-kisah Israiliyat yang merupakan kisah yang berasal dari keyakinan dan kitab suci kaum Bani Israil, untuk menguatkan topik yang mereka bahas.
4. Untuk Membandingkan
Mengutip untuk membandingkan Al Quran lalu membuktikan bahwa Al Quran adalah Al Haq. Seperti ucapan Yesus: “Jika ditampar pipi kanan, maka berilah pipi kiri.” Kita membandingkannya dengan ayat Al Quran:
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS. Asy Syura: 40)
Islam mengajarkan kewibawaan dan harga diri kepada manusia, maka Allah Ta’ala berfirman: “Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa”. Namun, Islam juga memberikan jalan yang lebih dan mulia, dengan firmanNya: “Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”. Dengan demikian akan lahir sikap saling menghormati secara hakiki yang didasari oleh penjagaan terhadap martabat manusia.
Sedangkan ucapan: “Jika ditampar pipi kanan, maka berilah pipi kiri.” Tidaklah menunjukkan bahwa dia lemah lembut dan sabar, namun menunjukkan ketidakberdayaan. Perdamaian yang lahir adalah semu, sebab didasari kezaliman satu pihak terhadap pihak lain.
Nah, mengutip dengan tujuan seperti ini juga tidak masalah.
5. Sekedar Diambil Hikmahnya
Mengutip kisah atau ayat dari kitab suci agama lain -termasuk kisah-kisah kitab Bani Israil (kisah Israiliyat)- adalah boleh, selama bukan untuk menetapkan hukum dan aqidah, tetapi sekedar untuk tahu bagaimana versi sejarah mereka, kehidupan mereka, akhlak yang baik, atau mengambil ibrah saja, selama tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Islam.
Dasarnya adalah dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari No. 3461, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 29175).Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Bab Maa Dzukira ‘An Bani Israil – Apa-apa yang Diceritakan Dari Bani Israil.
Berikut ini pandangan para ulama Islam tentang kebolehan mengutip dari kitabnya kaum Ahli Kitab:
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah berkata:
Yaitu tidaklah sempit bagimu untuk menceritakan dari mereka karena telah berlalu larangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengambil kisah dari mereka dan hati-hati terhadap kitab-kitab mereka, namun kemudian hal itu diberikan kelapangan untuk menceritakan dari mereka. Larangan itu terjadi sebelum mantapnya hukum-hukum Islam dan kaidah-kaidah agama, dan khawatir adanya fitnah. Lalu ketika hal yang demikian telah berlalu, maka diberikanlah izin untuk mendengarkan kabar-kabar yang pernah terjadi pada zaman mereka dahulu yang memiliki i’tibar (pelajaran). Dikatakan juga makna sabdanya “tidak apa-apa” adalah tidak menyempitkan dadamu jika kamu mendengarkannya dari mereka berupa keajaiban-keajaiban mereka, sebab hal itu memang banyak terjadi pada mereka. (Fathul Bari, 6/498. Darul Ma’rifah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
Nabi bersabda dalam hadits Abdullah bin Amr: “Ceritakanlah dari Bani Israil, tidak apa-apa”. Bani Israil, baik Yahudi dan Nasrani, jika mereka mengatakan sebuah perkataan maka kutiplah dari mereka, tidak apa-apa atasmu, dengan syarat tidak diketahui bahwa itu bertentangan dengan syariat, karena Bani Israil memiliki kebohongan berupa merubah kata-kata dari tempatnya dan mereka berdusta. Jika mereka mengabarkan kepadamu yang baik-baik maka tidak apa-apa menceritakannya dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika bertentangan, maka tidak boleh mengutipnya, kecuali jika mengutipnya untuk menjelaskan kebatilannya, maka itu tidak apa-apa. (Syaikh Utsaimin, Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 1583. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:
Maknanya adalah satu, yaitu boleh saja bagi seorang muslim menukil perkataan mereka (ahli kitab) dan kabar tentang mereka yang terdapat dalam kitab-kitab mereka tanpa terikat dengan upaya pencarian kebenaran sanadnya, bahkan menceritakan berita-berita mereka menjadikannya sebagaimana halnya sebagai ibrah dan mau’izhah, kecuali jika diketahui bahwa berita itu adalah dusta. (Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, Fatwa No. 9067)
Dan masih banyak perkataan ulama lainnya yang serupa dengan ini.
Maka, tidak mengapa mengutip dari mereka berupa kisah-kisah dari sejarah mereka (Ahli Kitab), baik yang tertera dalam buku sejarah atau kitab suci mereka, selama ditujukan untuk mengambil pelajaran saja. Bukan untuk hukum dan aqidah.
Penulis: Farid Nu’man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com
(Beberapa bagian diedit oleh Aga, pengurus Daaru Hiraa, untuk menghemat tempat)
Nb. versi pdf buletin DH bisa didownload di bawah ini:
Attachment: buletinDH_32.pdf
dah takduga.. kek pernah baca.. hihihi
ReplyDeleteternyata emang punya ustadz farid