Orientalisme Lahirkan Generasi Sekuler
Apa dampak orientalisme bagi umat?
Dampaknya tidak terlepas dari tujuan munculnya orientalisme yang terkait dengan penjajahan. Seperti dalam buku Ahmad Abdul Hamid, Ru'yah Islamiyah lil Istisyraq (Perspektif Islam mengenai Orientalisme) ada 3 tujuan orientalisme; Pertama, menjelek-jelekkan Islam, membuat Islam rapuh. Kedua, memaksakan dominasi pararelitas umat Islam dengan melegitimasi dominasi ini dengan teori-teori dan bukti-bukti yang diklaim ilmiah dan obyektif. Ketiga, memaksakan klaim bahwa barat memiliki keunggulan ras dan budaya dibandingkan umat Islam. Dari segi politis, memang untuk mem-back up penjajahan. Maka dampaknya sudah nampak sekali terkait dengan akidah, sosial budaya. Jadi, pengaruhnya dalam akidah
adalah melahirkan generasi sekuler. Baik di kalangan intelektual, pemerintah, militer dan orang awam. Mereka menjadi satu arus yang meneriakkan tren pemisahan agama dari kehidupan, atau sekularisme.
Sejauh mana geliat kaum orientalis ini berimbas pada Islam?
Mereka kan selalu melakukan kajian-kajian tafsir atau al-Qur'an yang mencari ayat-ayat untuk diputarbalikkan sedemikian rupa. Kemampuan bahasa Arabnya luar biasa. Kadang kita juga kalah bahasa Arabnya dari mereka. Salah satu contoh, dalam al-Qur'an surat an-Nisa ayat 82, yang artinya, "Kalau seandainya al-Qur'an ini bukan dari Alah, maka pasti akan terjadi kontradiksi." Maka mereka mencari-cari, dan ditemukan salah satunya "la uqsimu bi hadzal balad". Mereka artikan di situ "la uqsimu bi hadzal balad" dengan saya tidak bersumpah dengan negeri ini. Negeri ini itu Makkah. Dia cari, ternyata al-Qur'an bersumpah dengan
negeri ini dalam surat at-Tin, "wattiin wazaituun watturisiniin wa hadzal baladil amin."
Mereka menjadikan ayat ini sebagai ayat yang kontradiktif. Di satu sisi al-Qur'an bilang tidak bersumpah, tapi di ayat ini al-Qur'an bersumpah. Padahal al-Qur'an menyatakan kalau ada kontradiksi berarti ini bukan dari Allah. Yang tahu bahasa Arab saja pusing, bagaimana
yang tidak tahu. Padahal laa uqsimu itu bukan tidak, tapi penguatan untuk sungguh-sungguh bersumpah.
Salah satu tren orientalisme ini kan untuk menarik orang-orang Islam untuk disekolahkan di pusat-pusat orientalisme. Itu sudah nampak, pengaruh akidah. Pengaruh lainnya adalah terhadap ide-ide marjinal yang menyimpang dari ajaran Islam seperti tasawuf Ibnu Arabi yang
mendapatkan perhatian khusus dari kaum orientalis. Ketika mengkaji satu tema tasawuf misalnya, ya tasawuf yang berpotensi menyelewengkan akidah.
Kemudian pengaruh sosial. Mereka berusaha mencari faktor yang merusak solidaritas masyarakat Islam. Misalnya, di Aljazair, mereka menghapuskan kepemilikan umum atas tanah publik yang akhirnya memecah belah kabilah-kabilah. Mereka juga menghidupkan sentimen-sentimen lokal. Seperti sentimen kejawaan di Indonesia. Lalu Arab dengan
Persia. Mesir dengan Fir'aunnya. Sentimen-sentimen yang kemudian menimbulkan potensi konflik.
Kemudian pengaruh politik dan ekonomi. Kaum orientalis mempropagandakan demokrasi sebagai suatu sistem. Ini masih jadi perdebatan. Kemudian pengaruh paling besar itu pada budaya pemikiran. Kalau boleh dibilang, kaum orientalis ini memetik kemenangan besar di
bidang budaya dan pemikiran. Di antaranya adalah cara pandang dan perspektif orientalis yang menjadi sumber pemahaman Islam, yang sebelumnya umat Islam menggunakan sumber al-Qur'an dan sunnah. Jadi, sekarang ini banyak sekali kajian-kajian yang polanya menggunakan metode orientalisme. Mereka sering menggunakan dalih dan metode-metode
ilmiah, tapi sebetulnya tidak begitu.
Contoh hasil orientalisme di Indonesia bagaimana?
Pertama orientasi kelimuan itu hanya ilmu untuk ilmu, dari wacana ke wacana. Itu masih mending, masih obyektif. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, orientalisme membongkar keilmuan yang sudah jadi. Cara pendekatan tafsir yang sudah mapan dirombak. Dampaknya antara lain, fenomena mahasiswa yang melakukan kajian-kajian Islam dengan tidak
menjadikan Islam sebagai pegangan hidup, tapi hanya sebagai bahan kajian saja. Hal ini tidak akan mengubah atau men-sibghoh menjadi pribadi-pribadi yang baik. Hasilnya, mereka menjadi cenderung kekiri-kirian, cenderung melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak. Kelompok yang lebih besar lagi, ya kelompok sekuler itu.
Penyakit Islam kan sudah berubah. Kalau dulu TBC (tahayul, bid'ah, churafat), sekarang Sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme). Pluralisme itu yang bahaya. Kalau pluralitas, Islam juga mengajarkan pluralitas. Tapi kalau pluralisme itu ideologi. Juga dampaknya kepada
gerakan feminisme. Semua tafsir dikritik. Tapi bagaimanapun juga itu ada positifnya. Orientalisme konon serius ketika menyiapkan isunya. Kalau kita meniru cara orientalis itu bagus. Harus diambil juga positifnya. Dan harus diakui juga, di antara kaum orientalis itu ada
saja yang obyektif dan kemudian masuk Islam. Orientalis itu kan ada yang Yahudi, atheis, dan lain-lain.
Tadi Anda bilang dampak terbesar adalah akidah. Apakah maraknya aliran sesat termasuk dalam dampak akidah?
Misal kasus Ahmadiyah ini kan bukan kasus lokal. Bahkan setelah keluar SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri pun ada permintaan dari luar negeri untuk membatalkannya. Ini kan termasuk dampak sosial. Ini seperti kartu yang dimainkan. Uniknya, umat Islam sendiri malah tidak bisa mengambil pelajaran. Misal Ahmadiyah, yang menonjol kan hanya
keputusan sesat atau bukan. Muncullah isu untuk memberikan binaan kepada anggota Ahmadiyah. Tapi ternyata bentuk riilnya tidak ada.
Mereka masuk melalui pendidikan?
Dilihat dari dunia barat dan dunia Islam di pihak lain, donasi-donasi pendidikan itu luar biasa. Funding-funding dunia barat itu ada. Tidak murni semata-mata membantu, tapi di belakangnya ada misi-misi terselubung. Mereka tahu persis betapa strategisnya dunia pendidikan.
Bagaimana cara meng-counter-nya?
Dari sisi pendidikan ada dua tantangan umat Islam, karena ini masalah keilmuan, yaitu otensitas dan kemodernan. Artinya, seberapa besar tantangan hidup masa ini. Banyak hal yang dulu tidak ada, tapi jangan sampai tercabut dari otensitas ajaran Islam itu sendiri. Kemodernan itu menjadi tantangan juga. Kalau kita hanya berhenti pada tekstual, kita tidak bisa menjadikan Islam sebagai agama yang bisa menyelesaikan persoalan. Dalam konteks kemodernan ini kita harus mengambil dari barat sekalipun, namun otensitas atau ashlah-nya meski terjaga. (Diyah Kusumawardhani)
Sumber: www.sabili.co.id
Narasumber: Tulus Musthofa, Lc., MA.
Ketua Komisi Dakwah dan SDM Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY
nb. versi pdf buletin Ar Rahmah edisi 17 bisa di-download dibawah
Dampaknya tidak terlepas dari tujuan munculnya orientalisme yang terkait dengan penjajahan. Seperti dalam buku Ahmad Abdul Hamid, Ru'yah Islamiyah lil Istisyraq (Perspektif Islam mengenai Orientalisme) ada 3 tujuan orientalisme; Pertama, menjelek-jelekkan Islam, membuat Islam rapuh. Kedua, memaksakan dominasi pararelitas umat Islam dengan melegitimasi dominasi ini dengan teori-teori dan bukti-bukti yang diklaim ilmiah dan obyektif. Ketiga, memaksakan klaim bahwa barat memiliki keunggulan ras dan budaya dibandingkan umat Islam. Dari segi politis, memang untuk mem-back up penjajahan. Maka dampaknya sudah nampak sekali terkait dengan akidah, sosial budaya. Jadi, pengaruhnya dalam akidah
adalah melahirkan generasi sekuler. Baik di kalangan intelektual, pemerintah, militer dan orang awam. Mereka menjadi satu arus yang meneriakkan tren pemisahan agama dari kehidupan, atau sekularisme.
Sejauh mana geliat kaum orientalis ini berimbas pada Islam?
Mereka kan selalu melakukan kajian-kajian tafsir atau al-Qur'an yang mencari ayat-ayat untuk diputarbalikkan sedemikian rupa. Kemampuan bahasa Arabnya luar biasa. Kadang kita juga kalah bahasa Arabnya dari mereka. Salah satu contoh, dalam al-Qur'an surat an-Nisa ayat 82, yang artinya, "Kalau seandainya al-Qur'an ini bukan dari Alah, maka pasti akan terjadi kontradiksi." Maka mereka mencari-cari, dan ditemukan salah satunya "la uqsimu bi hadzal balad". Mereka artikan di situ "la uqsimu bi hadzal balad" dengan saya tidak bersumpah dengan negeri ini. Negeri ini itu Makkah. Dia cari, ternyata al-Qur'an bersumpah dengan
negeri ini dalam surat at-Tin, "wattiin wazaituun watturisiniin wa hadzal baladil amin."
Mereka menjadikan ayat ini sebagai ayat yang kontradiktif. Di satu sisi al-Qur'an bilang tidak bersumpah, tapi di ayat ini al-Qur'an bersumpah. Padahal al-Qur'an menyatakan kalau ada kontradiksi berarti ini bukan dari Allah. Yang tahu bahasa Arab saja pusing, bagaimana
yang tidak tahu. Padahal laa uqsimu itu bukan tidak, tapi penguatan untuk sungguh-sungguh bersumpah.
Salah satu tren orientalisme ini kan untuk menarik orang-orang Islam untuk disekolahkan di pusat-pusat orientalisme. Itu sudah nampak, pengaruh akidah. Pengaruh lainnya adalah terhadap ide-ide marjinal yang menyimpang dari ajaran Islam seperti tasawuf Ibnu Arabi yang
mendapatkan perhatian khusus dari kaum orientalis. Ketika mengkaji satu tema tasawuf misalnya, ya tasawuf yang berpotensi menyelewengkan akidah.
Kemudian pengaruh sosial. Mereka berusaha mencari faktor yang merusak solidaritas masyarakat Islam. Misalnya, di Aljazair, mereka menghapuskan kepemilikan umum atas tanah publik yang akhirnya memecah belah kabilah-kabilah. Mereka juga menghidupkan sentimen-sentimen lokal. Seperti sentimen kejawaan di Indonesia. Lalu Arab dengan
Persia. Mesir dengan Fir'aunnya. Sentimen-sentimen yang kemudian menimbulkan potensi konflik.
Kemudian pengaruh politik dan ekonomi. Kaum orientalis mempropagandakan demokrasi sebagai suatu sistem. Ini masih jadi perdebatan. Kemudian pengaruh paling besar itu pada budaya pemikiran. Kalau boleh dibilang, kaum orientalis ini memetik kemenangan besar di
bidang budaya dan pemikiran. Di antaranya adalah cara pandang dan perspektif orientalis yang menjadi sumber pemahaman Islam, yang sebelumnya umat Islam menggunakan sumber al-Qur'an dan sunnah. Jadi, sekarang ini banyak sekali kajian-kajian yang polanya menggunakan metode orientalisme. Mereka sering menggunakan dalih dan metode-metode
ilmiah, tapi sebetulnya tidak begitu.
Contoh hasil orientalisme di Indonesia bagaimana?
Pertama orientasi kelimuan itu hanya ilmu untuk ilmu, dari wacana ke wacana. Itu masih mending, masih obyektif. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, orientalisme membongkar keilmuan yang sudah jadi. Cara pendekatan tafsir yang sudah mapan dirombak. Dampaknya antara lain, fenomena mahasiswa yang melakukan kajian-kajian Islam dengan tidak
menjadikan Islam sebagai pegangan hidup, tapi hanya sebagai bahan kajian saja. Hal ini tidak akan mengubah atau men-sibghoh menjadi pribadi-pribadi yang baik. Hasilnya, mereka menjadi cenderung kekiri-kirian, cenderung melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak. Kelompok yang lebih besar lagi, ya kelompok sekuler itu.
Penyakit Islam kan sudah berubah. Kalau dulu TBC (tahayul, bid'ah, churafat), sekarang Sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme). Pluralisme itu yang bahaya. Kalau pluralitas, Islam juga mengajarkan pluralitas. Tapi kalau pluralisme itu ideologi. Juga dampaknya kepada
gerakan feminisme. Semua tafsir dikritik. Tapi bagaimanapun juga itu ada positifnya. Orientalisme konon serius ketika menyiapkan isunya. Kalau kita meniru cara orientalis itu bagus. Harus diambil juga positifnya. Dan harus diakui juga, di antara kaum orientalis itu ada
saja yang obyektif dan kemudian masuk Islam. Orientalis itu kan ada yang Yahudi, atheis, dan lain-lain.
Tadi Anda bilang dampak terbesar adalah akidah. Apakah maraknya aliran sesat termasuk dalam dampak akidah?
Misal kasus Ahmadiyah ini kan bukan kasus lokal. Bahkan setelah keluar SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri pun ada permintaan dari luar negeri untuk membatalkannya. Ini kan termasuk dampak sosial. Ini seperti kartu yang dimainkan. Uniknya, umat Islam sendiri malah tidak bisa mengambil pelajaran. Misal Ahmadiyah, yang menonjol kan hanya
keputusan sesat atau bukan. Muncullah isu untuk memberikan binaan kepada anggota Ahmadiyah. Tapi ternyata bentuk riilnya tidak ada.
Mereka masuk melalui pendidikan?
Dilihat dari dunia barat dan dunia Islam di pihak lain, donasi-donasi pendidikan itu luar biasa. Funding-funding dunia barat itu ada. Tidak murni semata-mata membantu, tapi di belakangnya ada misi-misi terselubung. Mereka tahu persis betapa strategisnya dunia pendidikan.
Bagaimana cara meng-counter-nya?
Dari sisi pendidikan ada dua tantangan umat Islam, karena ini masalah keilmuan, yaitu otensitas dan kemodernan. Artinya, seberapa besar tantangan hidup masa ini. Banyak hal yang dulu tidak ada, tapi jangan sampai tercabut dari otensitas ajaran Islam itu sendiri. Kemodernan itu menjadi tantangan juga. Kalau kita hanya berhenti pada tekstual, kita tidak bisa menjadikan Islam sebagai agama yang bisa menyelesaikan persoalan. Dalam konteks kemodernan ini kita harus mengambil dari barat sekalipun, namun otensitas atau ashlah-nya meski terjaga. (Diyah Kusumawardhani)
Sumber: www.sabili.co.id
Narasumber: Tulus Musthofa, Lc., MA.
Ketua Komisi Dakwah dan SDM Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY
nb. versi pdf buletin Ar Rahmah edisi 17 bisa di-download dibawah
Attachment: buletinDH_17.pdf
Leave a Comment