Buletin Ar-Rohmah Edisi 20 Oktober 2006

Ketika Harus Berpisah


BERSYUKUR sekali rasanya setelah hamba yang faqir dan dhoif ini diperkenankan menikmati hidangan-hidangan Allah SWT di bulan-Nya yang sungguh teramat mulia ini dikarenakan berbagai macam iming-iming yang ditawarkan oleh Dzat yang menggenggam langit dan  bumi kepada hamba-hamba-Nya Yang Beriman.


Dan tak terasa sebentar lagi kita akan berpisah dengan Ramadahan. Sebuah harapan tentunya selalu kita impi-impikan. Bukan sekedar diimpikan, tetapi tentu coba tuk diraih. Yaitu ketika kita keluar dari Madrasah Ramadhan ini, kita akan memperoleh gelar Muttaqin yang sebenar-benarnya. Amin.


Segala legam dosa yang tertoreh pada wajah kita semoga kan dihapuskan. Segala khilaf dan kesalahan pada sesama moga kan dihalalkan. Segala amal dan kebaikan yang tak seberapa moga kan jadi tabungan yang terhimpunkan. Segala doa dan munajat hamba moga kan dikabulkan.


Sehingga keberkahan dari langit segera dikucurkan dan dari bumi segera dipancarkan. Kedamaian kembali bersemayam dalam hati-hati kita dan di bumi pertiwi tercinta. Segala kegelisahan anak negeri segera mendapat solusi. Segala musibah segera berakhir dan berganti dengan ampunan, kebaikan dan derajat yang tinggi.


Menuju Fithri


Yah benar, selayaknya kita sedih karena perpisahan ini, kita berharap kan menjumpainya kembali 11 bulan lagi. Amin. Sebentar lagi kita kan sampai pada ‘iedul fithri. Kembali kesucian, sebagai bekal mengarungi bulan-bulan berikutnya. Kesucian yang dimulai dari aktivitas ibadah yang maksimal dan ikhlas di bulan mulai Ramadhan. Kesucian yang menjadi langkanh pertama menuju kebahagiaan dan ketentraman. Kesucian yang semoga tak ternodai lagi.


Dan pada hari kemenangan tersebut kita biasanya kan bersimpuh di hadapan Orangtua tercinta ~semoga Allah selalu melindungi dan menurunkan rahmat serta ampunan-Nya untuk beliau~. Banyak diantara kita yang harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk menemui Orangtua tercinta. Perjalanan sebagai bentuk bakti. Perjalanan yang menguras banyak energi. Tetapi jiwa ridha, hati tenang, rasa bahagia meliputi semuanya.


Para Musafir ~semoga dilindungi Allah~


Kita semua memang musafir. Kita yang hidup di dunia inipun sedang melakukan perjalanan. Perjalanan meraih taqdir kita. Perjalanan menuju kampung halaman yang abadi. Dalam bahasa Nabi disebutkan: Kun fii ddunnyaa kaannaka ghoriibun au ‘aabiro sabiil. “Jadilah  kamu di dunia sebagai layaknya orang asing atau penyeberang jalan”. ( HR. Bukhari ).


Di dunia ini kita bukan saja hanya melepas lelah untuk duduk sementara di bawah pohon rindang. Tetapi kita harus memposisikan diri kita seperti hadits itu. Harus punya keyakinan yang kuat bahwa kita hanya orang asing yang pasti segera meninggalkan tempat ini. Atau sekadar penyeberang jalan yang tak mungkin berhenti di tengah jalan.


Karena bukan di sini tujuan akhir kita. Hidup yang sesungguhnya bukan kehidupan dunia yang fana. Karena kita hanya orang asing di dunia ini. Kita hanya duduk sesaat untuk mengambil nafas dan memenuhi perbekalan. Karena perjalanan panjang yang telah kita lalui dari alam arwah hingga sekarang, masih jauh sangat lebih panjang perjalanan setelahnya. Perjalanan menuju Negeri Abadi. Bukan di sini tempat istirahat kita. Nanti, nanti di depan sana. Masih jauh di depan sana. Di Surga Allah Ta’ala.


Imam Ahmad ketika suatu saat ditanya oleh putranya, Abdullah yang merasa iba melihat ayahnya lelah dalam aktifitas Da’wah dan Ilmunya. “Kapan ayah istirahat?”.  Sang ayah menjawab dengan jawaban penuh pengajaran dan hikmah : ‘Inda awwali wath ati qodamii fiil jannah'. “Ketika sebelah kaki ini menginjak surga”. Subhanallah, memang di sanalah tempat istirahat yang tidak akan ada kelelahan lagi. Justru saat kematian menjemput orang beriman, itulah awal yang sebenarnya, Nabi mengistilahkannya dengan “istirahat”. Al’Abdul mukminu yastariikhu min nasobi ddunya wa adzaahaa ilaa rahmatillah, “Hamba yang beriman beristirahat dari dunia yang melelahkan dan menyakitkan menuju rahmat Allah” ( HR. Bukhari dan Muslim )



Perjalanan yang Butuh Perbekalan


Mari kita ikuti dengan seksama nasehat shahabat yang zuhud Abu Dzar radhiallahu ‘anhu. Saat itu ia sedang berdiri di dekat Ka’bah. Dia menyeru : “Hai sekalian manusia, kemari dan dengarkanlah perkataan orang yang merasa iba dan tertpanggil untuk menasehati kalian.”
Orang-orang bergerombol dan mengelilingi. Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bertanya, “Wahai sekalian ikhwanku, bagaiman menurut Anda sekalian bila ada seseorang yang ingin bepergian namun ia tidak mempunyai bekal, apakah ia akan sampai ke tujuan?”.  Mereka menjawab, “Tentu tidak”.  Beliau pun berkata, “Karena itu, perjalanan di Hari Kiamat lebih jauh dari semua perjalanan. Ambillah semua yang layak menjadi bekal kalian! Lakukan di dunia ini segala yang akan kalian petik hasilnya di akhirat kelak! Berhajilah untuk mengingat peristiwa-peristiwa mencengangkan! Berpuasalah dihari yang yang sangat panas untuk menghadapi yaumul mahsyar! Shalatlah dua rakaat di gulita malam untuk mengingat alam kubur! Bersedekahlah dengan harta kalian agar selamat dari kesulitan akhirat! Jadikanlah dunia ini sebagai dua majelis saja, yaitu majelis untuk mencari sesuatu yang halal dan majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat!”


Subhanallah, sungguh sangat luar biasa nasehat salah satu generasi terbaik ini. Sangat mengena.  Poin-poin yang disampaikannya merupakan bekalan bagi musafir. Kalau perjalanan ke kampung halaman kita pada ‘iedul fithri ini menempuh jarak yang jauh, perjalanan ke kampung akhirat adalah merupakan perjalanan yang paling jauh. Perjalanan tanpa koma, apatah lagi titik.


Menyiapkan bekalan


Segala kebaikan yang kelak bisa kita petik hasilnya, harus segera diusahakan. Bertanam sebanyak mungkin di dunia. Dan mari kita jaga tanaman kebaikan kita ini dari berbagai penyakit dan hama wereng yang menyebabkan gagal panen raya. Aktifitas kita hari ini harus selalu berorientasi akhirat. Kegiatan kita hari ini harus berorientasi pada setelah kematian. Setiap langkah bahkan niat kita, harus bisa menjadi bekal pada hari yang tiada berguna harta dan keturunan.


Saudara-saudaraku seiman yang dimuliakan Allah. Bersiap untuk menyelamatkan diri dari siksa kubur dan masa melelahkan di mahsyar, harus kita usahakan sejak hari ini. Amal ibadah apa saja yang dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya melindungi kita dari siksa dan menghilangkan kegundahan panjang di Padang Mahsyar, harus segera kita kerjakan.


Kalau Nabi katakan, shalat dan al-Qur’an menjadi syafaat kelak bagi yang mengerjakannya. Maka segeralah shalat dan ambilo al-Qur’an untuk kita baca.


Kalau Nabi sabdakan, agar berlindung dari neraka walau dengan sebiji kurma. Maka cepatlah mengeluarkan harta untuk diinfakkan di jalan Allah.


Kalau Nabi sampaikan, bahwa orang yang tumbuh besar dalam beribadah kepada Allah akan dijaga Allah. Maka mengapa harus ada  kata : nikmatilah mumpung masih muda. Kata dengan makna negatif.


Kalau Nabi telah menjamin mereka yang bersama dalam ikatan cinta karena Allah akan dilindungi. Mari kita ganti ikatan lain yang Allah belum menghalalkannya, dengan ikatan yang jauh lebih mulia, ikatan yang pasti lebih langgeng dan dibanggakan Allah, ikatan cinta karena Allah Ta’ala. Bertemu dan berpisah karena-Nya.


Kalau Nabi telah memotivasi bahwa orang yang memudahkan permasalahan yang menimpa saudaranya di dunia akan dimudahkan Allah di akhirat. Mengapa kita tidak semangat untuk membantu saudara kita.


Watazawwaduu fainna khoiro zzadi ttaqwaa, wattaquni yaa ulil albaab.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” ( Qs. Al-Baqarah: 197 )
Begitulah ayat haji disampaikan. Ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan bekal banyak itu, ternyata bekal terbaiknya adalah ketaqwaan. Maka mari kita bertaqwa kepada-Nya saudaraku yang berakal.


Dan akhirnya , selamat hari raya ’iedul fithri 1427 H. Semoga di hari yang fitri ini menjadi awalan yang baik untuk hasil yang lebih baik. Amin.


Diolah ”hAb” dari Majalah Ghoib edisi 72

No comments

Theme images by RBFried. Powered by Blogger.