Buletin Ar-Rohmah edisi 13 Oktober 2006
Keutamaan Akhir Ramadhan
Berjalannya waktu ternyata membuat tanpa sadar bulan penuh berkah dan rahmah, dimana pahala dilipatgandakan, syaitan dibelenggu, pintu Surga dibuka lebar-lebar serta pintu neraka ditutup rapat-rapat (ramadhan-red) ini menemui hari-hari terakhirnya pada tahun 1427 H (sepuluh hari terakhir). Untuk umat yang sadar akan keagungan bulan ini tentu saja merasa gundah, dikarenakan perjumpaan dengan karunia terindah akan menemui perpisahannya, tapi untuk sebagian umat yang lain yang masih belum paham, (boleh jadi) akan menjadi saat yang ditunggu-tungu, oleh karena tidak perlu lagi untuk berlapar-lapar dan keringnya kerongkongan ketika siang hari, serta bercapek-capek ibadah lail (Tarawih, Tadarus dll) ketika malam.
Ibarat seorang pelari yang akan menempuh ratusan kilometer, untuk memperoleh kemenangan bukannya malah berleha-leha memperlambat langkahnya ketika mendekati garis finish, bahkan pada kilometer-kilometer akhir-lah yang berpotensi besar untuk mencapai kemenangan dengan memperlebar langkah dan mempercepat laju kaki. Hari-hari terakhir perpisahan dengan Ramadhan hendaknya juga menjadi salah satu stimulus (pendorong) untuk lebih menggiatkan diri dalam beribadah, bukannya memalaskan diri ketika ramadhan hampir usai. Analogi ini sama dengan apa yang dicontohkan oleh suri tauladan kita, Rasulullah SAW, bahwa pada sepuluh hari terakhir inilah beliau lebih menggiatkan diri ke masjid (i’tikaf) serta memperbanyak amalan-amalan sholeh yang bermanfaat untuk sesama.
Beri’tikaf menjelang Akhir Ramadhan
1. Beri’tikaf, menyucikan pikiran dan hati
Manusia dalam kehidupan sehari-harinya akan selalu berhadapan dengan permasalahan-permasalahan keduniawian yang mau tidak mau ketika kealfaan datang, selalu dibarengi dengan kebuntuan pikiran dan hati, pada akhirnya ketika pada titik ini mencapai klimaksnya akan mengalami stress, dan tak jarang jalan pintas (menghalalkan segala cara) menjadi pilihan pertama untuk menyelesaikan problem-problem tadi.
Beriktikaf adalah cara yang mumpuni untuk mengatasi himpitan polemik-polemik tersebut, dengan lebih mendekatkan diri dengan sang Maha pemberi Solusi, permasalahan-permasalahan yang sebelumnya nampak rumit, akan dihadapi dengan ketenangan pikiran dan hati yang pada endingnya akan nampak terang semua solusi-solusi yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW, ketika beliau menghadapi himpitan permasalahan-permasalahan keumatan, Gua Hira’ menjadi tempat beliau untuk menenangkan diri serta lebih mendekatkan jiwa pada Sang Khalik. Pada kondisi demikian, Gua Hira’ juga berperan menjadi sebuah tempat yang ketika wahyu pertama kali datang (Ayat pertama, Q.S Al- Alaq:1-5 ), ketika rasul berada pada jiwa yang suci, maka Jibril datang membawa wahyu yang kelak membawa perubahan besar pada diri beliau dan lingkungannya serta merupakan langkah awal dirancangnya Peradaban baru (Dr. M. Quraish Shihab, “MEMBUMIKAN AL-QURAN, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat”, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996 ).
2. Beri’tikaf, memperlebar kesempatan memperoleh Laylatul Qodar.
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al Muwattha' dari Abi Said Al Khudri yang berkata: "Adalah Rasulullah SAW. beri'tikaf pada puluhan yang kedua dari bulan Ramadhan. Pada suatu tahun setelah sampai beliau pada malam 21 yang seharusnya beliau keluar dari i'tikaf pada pagi harinya, beliau berkata: Barang siapa turut beri'tikaf bersamaku, hendaklah beri'tikaf pada puluhan yang akhir. Sungguh telah diperlihatkan kepadaku malam al-qodar, kemudian aku dijadikan lupa. Aku bersujud pada paginya di air dan tanah. Karena itu carilah dia di puluhan yang akhir, carilah dia di tiap-tiap malam yang ganjil”. Berkata Abu Said: "Maka turunlah hujan pada malam itu, sedangkan masjid diatapi dengan daun korma dan meneteslah air ke lantai. Kedua mataku melihat Rasulullah kembali dari masjid, sedangkan pada dahinya nampak bekas air dan tanah, yaitu malam 21."
Secara tidak langsung pada riwayat diatas menyebutkan bahwa kenapa amalan ibadah hendaknya terus dipacu karena Laylatul Qodar-pun memiliki “potensi besar” datang pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Disebutkan punya “potensi besar” karena tidak disebutkan secara tegas oleh Rasulullah pada hari yang keberapa, seperti pada Hadist dibawah ini :
Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Carilah dengan segala daya upaya malam al-qodar di malam-malam ganjil dari sepuluhan yang akhir dari bulan Ramadhan."
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda:
"Maka barang siapa yang hendak mencari malam al-qodar, carilah pada malam tujuh yang akhir.
Nah, dengan adanya I’tikaf tersebut dapat dinyatakan secara implisit akan memperlebar kesempatan seseorang untuk mendapatkan Laylatul Qodar, yang pada momen tersebut akan dilipatgandakan pahala disisi Allah SWT seperti lebih dari seribu bulan.
"Malam kemuliaan (Laylatul Qodar) itu lebih baik dari seribu bulan" (Q.S Al Qadr : 3)
3. Beri’tikaf, mengagungkan Rumah Allah SWT.
Setelah Rasullulah beserta sahabat hijrah ke Madinah, strategi yang diterapkan Rasul pertama kali untuk membangun kekuatan umat adalah membangun Masjid Nabawy (“Sirah Nabawiyah”, oleh: Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 2003). Kelak pada pembangunan ini, selain digunakan sebagai tempat sholat, tempat ini juga digunakan sebagai sarana untuk syura, pendidikan, pusat informasi dan aktivitas-aktivitas ke-ummatan lainnya. Pada poin ini, sebenarnya lebih menekankan pada pengoptimalan kembali potensi masjid sebagai salah satu media untuk menjalin kekuatan umat. Sehingga diharapkan, keberadaan masjid sebagai pemersatu “barisan” akan menemui titik tekannya kembali.
Pada akhirnya, perjumpaan dengan Ramadhan pada saat sekarang ini, memang hendaknya dimanfaatkan secara optimal dengan senantiasa memupuk keimanan serta berusaha dengan sungguh-sungguh melipatkan amalan-amalan untuk mencari Ridho-Nya. Setiap detik yang tersisa dalam bulan yang mulia ini akan menjadi benar-benar mulia ketika kita mampu menyikapinya dengan cara-cara yang mulia, dengan harapan akan menjadi sosok mulia pula dihadapan-Nya. Karena manusia manapun tak ada yang tahu, tahun depan kita akan mengalami perjumpaan berikutnya atau tidak. Wallahu a’lam.
Dedy Setyo A
Ketua Santri PPMa Daaru Hiraa
Leave a Comment